Selamat Datang di Blog MudyShare

Minggu, 29 April 2012

SINGKAT KISAH BENDERA PUSAKA MERAH PUTIH

Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dikumandangkan pada hari Jum’at tanggal 17 Agustus 1945 jam 10 pagi di jalan Pegangsaan timur 56 Jakarta. Setelah pernyataan Kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya secara resmi bendera kebangsaan merah putih dikibarkan oleh dua orang muda mudi dan dipimpin oleh Bapak Latief Hendraningrat. Bendera ini dijahit tangan oleh ibu Fatmawati Soekarno dan bendera ini pula yang kemudian disebut “Bendera Pusaka”.
Bendera Pusaka berkibar siang malam ditengah hujan tembakan sampai ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Pada tanggal 4 Januari 1946 karena ada aksi terror yang dilakukan Belanda semakin meningkat, maka Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dengan menggunakan kereta api meninggalkan Jakarta menuju Yogyakarta.
Bendera Pusaka dibawa ke Yogyakarta dan dimasukkan dalam kopor pribadi Presiden Soekarno. Selanjutnya ibukota Republik Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.
Tanggal 19 Desember 1948, Belanda melancarkan agresinya yang kedua. Pada saat Istana Presiden Gedung Agung Yogyakarta dikepung oleh Belanda, Bapak Husein Mutahar dipanggil oleh Presiden Soekarno dan ditugaskan untuk menyelamatkan Bendera Pusaka. Penyelamatan Bendera Pusaka ini merupakan salah satu bagian dari sejarah untuk menegakkan berkibarnya Sang Merah Putih di persada bumi Indonesia. Untuk menyelamatkan Bendera Pusaka itu, terpaksa Bapak Hussein Mutahar harus memisahkan antara bagian merah dan putihnya.
Untuk mengetahui saat-saat penyelamatan Bendera Pusaka, maka terjadi percakapan yang merupakan perjanjian pribadi antara Presiden Soekarno dan Bapak Hussein Mutahar yang terdapat dalam Buku Bung Karno “Penyambung Lidah rakyat Indonesia” karya Cindy Adams:
“Tindakanku yang terakhir adalah memanggil Mutahar ke kamarku (Presiden Soekarno, Pen).” Apa yang terjadi terhadap diriku, aku sendiri tidak tahu,” kataku ringkas. Dengan ini aku memberikan tugas kepadamu pribadi. Dalam keadaan apapun juga, aku memerintahkan kepadamu untuk menjaga Bendera kita dengan nyawamu. Ini tidak boleh jatuh ke tangan musuh. Disatu waktu, jika Tuhan mengizinkannya engkau mengembalikannya kepadaku sendiri dan tidak kepada siapapun kecuali kepada orang yang menggantikanku sekiranya umurku pendek. Andaikata engkau gugur dalam menyelamatkan Bendera ini, percayakan tugasmu kepada orang lain dan dia harus menyerahkan ke tanganku sendiri sebagaimana engkau mengerjakannya. Mutahar terdiam. Ia memejamkan matanya dan berdoa. Disekeliling kami bom berjatuhan. Tentara Belanda terus mengalir melalui setiap jalanan kota. Tanggung jawabnya sungguh berat. Akhirnya ia memecahkan kesulitan ini dengan mencabut benang jahitan yang memisahkan kedua belahan dari bendera itu.
Akhirnya dengan bantuan Ibu Perna Dinata benang jahitan antara Bendera Pusaka yang telah dijahit tangan Ibu Fatmawati Soekarno berhasil dipisahkan. Setelah Bendera Pusaka dipisahkan menjadi dua maka masing-masing bagian yaitu merah dan putih dimasukkan pada dasar dua tas milik Bapak Hussein Mutahar, selanjutnya pada kedua tas tersebut dimasukkan seluruh pakaian dan kelengkapan miliknya. Bendera Pusaka ini dipisah menjadi dua karena Bapak Hussein Mutahar mempunyai pemikiran bahwa apabila Bendera Pusaka ini dipisah maka tidak dapat disebut bendera, karena hanya berupa dua carik kain merah dan putih. Hal ini untuk menghindari penyitaan dari pihak Belanda.
Terakhir dikibarkan
Tahun 1969 Bendera Pusaka terakhir dikibarkan karena sudah terlalu tua, sehingga dibuatlah bendera duplikat untuk tiang 17 m Istana Merdeka dari bahan bendera (wol) yang dijahit 3 potong memanjang kain merah dan 3 potong memanjang kain putih kekuning-kuningan. Bendera merah putih, duplikat bendera pusaka, idealnya terbuat dari sutra alam dan alat tenun asli Indonesia yang warna merah dan putihnya tanpa jahitan dengan warna merah cat celup asli Indonsia.
Karena suatu hal, pemikiran tadi tidak dilaksanakan, bendera duplikat terbuat dari katun Inggris tanpa jahitan dengan ukuran 200 x 300 cm. Pembuatan bendera duplikat dibuat oleh Balai Penelitian Textil Bandung dibantu PT Ratna di Ciawi Bogor. Bendera duplikat dibagikan ke setiap Daerah Tingkat I dan Daerah Tingkat II serta perwakilan Indonesia di Luar Negeri pada tanggal 5 Agustus 1969. Kemudian bendera pusaka tidak dikibarkan dan hanya dijadikan pendamping bendera duplikat pada saat pengibaran dan penurunan.
Mesin Jahit Itu Masih Terawat Baik
Rumah masa kecil Bu Fatmawati Soekarno (Bu Fat) di Bengkulu. Berbagai barang pribadi, termasuk mesin jahit Bu Fat yang digunakan menjahit bendera pusaka, masih tersimpan di salah satu ruangan rumah masa kecil Ibu Negara yang pertama.
Mesin jahit yang digunakan untuk menjahit sang saka Merah Putih pertama dan kini tersimpan di rumah Fatmawati yang merupakan istri proklamator kemerdekaan RI, Soekarno, kondisinya masih dalam keadaan terawat.
''Mesin jahit ini sangat sederhana hanya digerakkan dengan tangan tidak seperti mesin yang ada sekarang,'' kata pengurus Rumah Fatmawati Bengkulu, Bayu Suwondo,
Mesin yang merupakan salah satu peninggalan sejarah kemerdekaan Indonesia itu masih tersimpan dengan baik disalah satu kamar pada rumah itu. Ia mengatakan, biaya untuk perawatan benda-benda bersejarah itu bersumber dari pemerintah Bengkulu.
Selain mesin itu, peninggalan sejarah dari rumah istri proklamator berupa foto-foto sejarah masa kecil Fatmawati hingga menikah dengan presiden pertama Republik Indonesia dan lukisan Fatmawati. ''Lukisan ini merupakan lukisan asli dari zaman dulu,'' katanya.
Ia mengatakan, barang yang telah mengalami penggantian karena keadaannya yang sudah usang adalah kasur dan bantal yang pernah digunakan Fatmawati. ''Kasur dan bantal ini sudah diganti dengan yang baru karena telah usang tetapi tempat tidurnya tidak,'' ungkapnya.
Fatmawati (ada yang berkata nama aslina Fatimah. Red.) lahir pada tanggal 5 Pebruari 1923, dari suami-isteri Hassan Din dan Siti Chatidjah. Tidak memiliki rumah sendiri (dan selalu menyewa atau, menumpang), Hassan Din bukan orang berada. Kemelaratan ini lebih-lebih lagi melanda ketika Hassan Din harus keluar dari Borsumi dan aktif dalam gerakan Muhammadiyah di Bengkulu.
Pernah, ketika masih duduk di kelas II HIS Muhammadiyah, Fatmawati berjualan ketoprak seusai sekolah. "Inilah jalan yang aku tempuh untuk meringankan beban orangtuaku," tulisnya. Usia 12 tahun, sudah bisa dilepas di warung beras ayahnya.
Ketika usianya 15 tahun, Fatmawati bertemu dengan Sukarno. Bahkan seluruh keluarga -- ayah, ibu, Fatma dan adik ayahnya -- naik delman mengunjungi rumah Sukarno di Curup. "Masih kuingat, aku mengenakan baju kurung warna merah hati dan tutup kepala voile kuning dibordir." Pendapat Fatmawati tentang Inggit, yang waktu itu jadi isteri Bung Karno: "Inggit mempunyai pembawaan halus, pandai tersenyum dan gemar makan sirih. Berpakaian rapi, tak banyak reka-reka menurut model sebelum generasiku, memakai gelur bono Priangan. Pada penglihatanku, Ibu Inggit seorang yang tidak spontan, gerak-geriknya hati-hati. Bercakap pun demikian. Matanya kelihatan seakan-akan suka marah dan kesal. Jika orang tak kuat batin, rasanya susah berdekatan dengan beliau
Saat yang paling penting dalam kehidupannya, di saat-saat menjelang proklamasi 17 Agustus 1945, demikian Fatmawati. Ibu Negara ini yang menggunting dan menjahit bendera pusaka yang kini disimpan. Di masa-masa pergolakan ada beberapa catatan penting tentang soal yang bisa saja dianggap remeh-remeh. Misalnya: Kunjungan beliau yang pertama ke luar negeri adalah ke India. Beliau ketika itu memakai perhiasan pinjaman dari isteri Sekretaris Negara, seorang keturunan bangsawan kraton yang kebetulan punya persediaan.
Tentang Yogya - dan Fatma berdiam di gedung yang kini namanya Gedung Negara -- ia menulis: "Satu kali kami menjamu Merle Cochran dengan perabot dan pecah-belah pinjaman dari kiri-kanan dengan protokol perjuangannya." Artinya: protokol yang juga sibuk pinjam taplak meja di rumah lain kalau kebetulan ada tamu negara. Juga protokol yang, tanpa bisa dilihat oleh tamu negara, bersembunyi dan memberi tahukan kepada Bung Karno, kapan dia harus angkat gelas. Istana waktu itu memang bukan Istana yang sekarang.
Fatmawati meninggal pada tahun 1980 dan dimakamkan di Karet Bivak, Jakarta. Ia adalah istri ke-3 dari Presiden Pertama Indonesia, Soekarno. Ia juga dikenal akan jasanya dalam menjahit Bendera Pusaka Sang Saka Merah Putih yang turut dikibarkan pada upacara Proklamasi Kemerdekaan Indonesia di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1945. Dari pernikahananya dengan Soekarno ia dikaruniai 5 orang anak.

Sumber : http://www.mindtalk.com/ch/ARMORY#!/post/4e4aec14f7b7305311000017

Please Visit http://translate.google.com/  for Switch to Another language

Tidak ada komentar:

Posting Komentar